Arbitrase internasional di Indonesia diatur oleh UU No.. 30 dari 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ([object Window]), yang tidak berdasarkan Model Hukum UNCITRAL.[1] Indonesia meratifikasi Konvensi New York tentang Pengakuan dan Penegakan Putusan Arbitrase Asing ("Konvensi New York") di 1981[2], yang memfasilitasi penegakan putusan arbitrase internasional. UU Arbitrase disahkan sebagai konsekuensi ketaatan Indonesia pada Konvensi New York.[3] Hukum Arbitrase, namun, tidak berubah selama lebih dari 24 tahun dan dianggap mengkhawatirkan oleh para akademisi dan profesional yang khawatir bahwa hal ini akan membuat pengguna internasional enggan menggunakan arbitrase berdasarkan undang-undang ini..[4]
Arbitrase internasional di Indonesia seharusnya, namun, mengalami peningkatan relatif mengingat pemberlakuan baru-baru ini Peraturan Mahkamah Agung No 3 dari 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Tantangan terhadap Penunjukan Arbiter, dan Pemeriksaan Permintaan untuk Menegakkan dan Mengesampingkan Putusan Arbitrase (SCR 3/2023).[6] Sebuah Terjemahan mesin bahasa Inggris dari SCR 3/2023 tersedia di sini.
Lembaga Arbitrase di Indonesia
Beberapa lembaga arbitrase telah didirikan di Indonesia, seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”), lembaga arbitrase paling terkemuka di negara ini, Badan Arbitrase Syariah Nasional, dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia.[7]
Arbitrase Internasional atau Domestik
Salah satu ciri arbitrase internasional di Indonesia adalah bahwa putusan arbitrase ditetapkan bersifat domestik ketika arbitrase diadakan di Indonesia, terlepas dari kewarganegaraan para pihak atau faktor lainnya; acara tersebut dianggap internasional jika diadakan di luar Indonesia.[8]
Sampai sekarang, UU Arbitrase mencakup proses arbitrase domestik dan penegakan putusan arbitrase domestik dan internasional tanpa memisahkan keduanya.[9] Beberapa perubahan adalah, namun, diperkenalkan dengan berlakunya SCR 3/2023, yang dibahas di bawah ini.
Persyaratan Formal Perjanjian Arbitrase
Menurut Artikel 1(1) UU Arbitrase, perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis. Ini dapat berupa klausul arbitrase dalam kontrak tertulis atau perjanjian tertulis terpisah untuk melakukan arbitrase setelah perselisihan timbul. Artikel 9(3) Undang-Undang Arbitrase mengatur persyaratan formal yang harus dimuat dalam perjanjian arbitrase tersendiri, kegagalan yang menjadikan perjanjian arbitrase batal demi hukum.[10]
Dalam acara apa pun, adanya perjanjian arbitrase menghalangi para pihak untuk melakukan penyelesaian sengketa mereka di pengadilan dalam negeri berdasarkan Pasal 11(1) UU Arbitrase. Karena itu, pengadilan pada prinsipnya juga harus menolak untuk memeriksa sengketa yang tunduk pada perjanjian arbitrase, menurut Artikel 11(2).[11]
Dapat dipertaruhkan
Artikel 5 Undang-Undang Arbitrase mengatur bahwa hanya sengketa komersial atau yang menyangkut hak yang, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, “berada dalam kewenangan hukum penuh para pihak yang bersengketa”, dapat diadili.[12]
Artikel 66(B) UU Arbitrase lebih lanjut mengatur bahwa putusan arbitrase asing yang diakui dan dapat dilaksanakan di Indonesia hanya terbatas pada sengketa komersial.. Perselisihan ini meliputi, diantara yang lain, perselisihan mengenai:[13]
- perdagangan;
- perbankan;
- keuangan;
- penanaman Modal;
- urusan industri; dan
- hak kekayaan intelektual.
Sifat dpt dipisahkan
Tidak ada rujukan tegas mengenai prinsip keterpisahan dalam hukum Indonesia. Artikel 10(f) UU Arbitrase, namun, menyatakan bahwa perjanjian arbitrase akan tetap berlaku meskipun kontrak pokoknya dinyatakan batal.[14]
Kompetensi kompetensi
Asas Kompetenz-Kompetenz juga tidak disebutkan secara tegas dalam UU Arbitrase. Menurut literatur, dia, namun, dianggap tersirat dari Pasal 3 dan 11 Undang-Undang Arbitrase bahwa hanya majelis arbitrase yang mempunyai kekuasaan untuk memutuskan yurisdiksinya sendiri, serta apakah suatu permasalahan dapat diarbitrase.[15]
Kerahasiaan Proses
Arbitrase internasional di Indonesia diatur dengan prinsip kerahasiaan persidangan sesuai dengan Pasal 27 UU Arbitrase (seperti halnya arbitrase domestik). Kerahasiaan mencakup semua dokumentasi yang terlibat dalam proses arbitrase, termasuk penyerahan, bukti dan pernyataan saksi.[16]
Komposisi Majelis Arbitrase
Artikel 13 UU Arbitrase mengatur bahwa pengadilan dalam negeri (ketua pengadilan negeri yang mempunyai yurisdiksi) menunjuk arbiter tunggal atau majelis arbitrase apabila tidak ada kesepakatan antara para pihak.
Prakteknya di BANI, apabila jumlah arbiter tidak diatur dalam perjanjian arbitrase, penggugat dapat mengusulkan jumlah arbiter dalam permohonan arbitrasenya, yang harus disetujui oleh responden.[17]
Jika perjanjian arbitrase menentukan adanya arbiter tunggal, ketua pengadilan negeri yang bersangkutan dapat menunjuk arbiter tunggal apabila para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan dalam jangka waktu tersebut 14 hari setelah Termohon menerima usulan Penggugat.[18]
Dalam hal perjanjian arbitrase mengatur tiga orang arbiter, masing-masing pihak menunjuk satu arbiter, dan kedua arbiter menunjuk ketua arbiter.[19] Menurut Artikel 15(3), namun, jika di dalam 30 hari setelah tergugat menerima pemberitahuan arbitrase, salah satu pihak gagal menunjuk arbiter, maka arbiter yang dipilih oleh pihak lain akan bertindak sebagai arbiter tunggal, dan putusannya mengikat kedua belah pihak.
Sebagai tambahan, apabila kedua arbiter yang ditunjuk gagal menunjuk arbiter ketiga di dalamnya 14 hari, dapat dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan, lagi, membantu para pihak dan menunjuk arbiter ketiga.[20]
Akhirnya, sesuai dengan Pasal 24(3) UU Arbitrase, penunjukan seorang arbiter dapat ditantang di dalam 14 hari pengangkatannya. Sebuah tantangan dapat diajukan jika ada “sebab yang cukup dan bukti yang otentik untuk menimbulkan keraguan bahwa arbiter tersebut tidak akan melaksanakan tugasnya secara independen atau akan bias dalam memberikan putusan.”.[21] Penunjukan tersebut juga dapat digugat jika salah satu pihak dapat membuktikan bahwa arbiter mempunyai “keluarga, hubungan keuangan atau hubungan kerja dengan salah satu pihak atau kuasa hukumnya masing-masing.”[22]
Persyaratan untuk Arbiter
Menurut Artikel 12 UU Arbitrase, arbiter setidaknya harus 35 tahun dan memiliki setidaknya 15 pengalaman bertahun-tahun di bidang keahliannya. Persyaratan ini menuai kritik karena ketidakjelasan dan kurangnya dasar pemikiran mengenai kriteria usia minimum.[23] Dalam acara apa pun, BANI mengusulkan berakhir 100 arbiter berkewarganegaraan Indonesia atau asing.[24]
Peraturan Mahkamah Agung No 3 dari 2023 (SCR 3/2023)
Dalam hal penunjukan arbiter, SCR 3/2023 merinci mekanisme untuk mengajukan permintaan ke pengadilan dalam negeri untuk penunjukan arbiter dan menantang penunjukan yang dibuat oleh pengadilan. Aturan tersebut mengharuskan pengadilan mengeluarkan keputusan yang menunjuk arbiter di lingkungannya 14 hari kalender setelah menerima permintaan untuk melakukannya. Pengajuan segala perlawanan terhadap penunjukan arbiter yang dilakukan oleh pengadilan juga harus dilakukan dalam waktu yang ditentukan 14 hari sejak dikeluarkannya keputusan pengadilan. Pengadilan juga punya 14 hari untuk mengeluarkan keputusannya (terhitung sejak tanggal penerimaan penyerahan).[25]
Namun, aturan arbitrase (kelembagaan atau untuk) yang mengatur mekanisme penunjukan arbiter secara otonom dan keberatan atas hal tersebut lebih diutamakan daripada ketentuan-ketentuan yang disebutkan di atas.
Sehubungan dengan pengakuan dan penegakan penghargaan asing, Mahkamah Agung secara resmi menyatakan bahwa batas waktu 30 hari berdasarkan Pasal 59(1) Undang-undang Arbitrase untuk mendaftarkan putusan dalam negeri tidak berlaku bagi putusan luar negeri. Diperlukan waktu yang lebih singkat untuk pendaftaran penghargaan asing, yang hanya itu 14 hari setelah pengajuan permohonan. Demikian pula, exequatur penghargaan asing harus diterbitkan di dalam 14 hari kalender setelah permohonan. Mahkamah Agung juga mengizinkan pengajuan ini dilakukan secara elektronik, sementara penegakan sebagian putusan arbitrase kini diperbolehkan.[26]
Akhirnya, SCR 3/2023 memberikan definisi baru tentang kebijakan publik, asalkan sekarang didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang merupakan fondasi yang sangat penting untuk berfungsinya dari sistem hukum, sistem ekonomi, dan sistem sosial budaya masyarakat dan bangsa Indonesia”.[27]
Definisi baru ini menawarkan pendekatan yang lebih rinci untuk menafsirkan dan menerapkan kebijakan publik dalam menegakkan putusan arbitrase. Hal ini dianggap sebagai “mendirikan[ing] landasan yang kuat untuk memastikan integritas proses penegakan arbitrase”, meskipun dampak kerangka baru ini terhadap pendekatan hakim dalam menafsirkan persyaratan kebijakan publik sehubungan dengan penghargaan luar negeri masih belum terlihat..[28]
Kesimpulan
Peraturan baru ini disambut baik dalam lingkup arbitrase internasional di Indonesia karena peraturan ini membahas “kekhawatiran yang sudah berlangsung lama terhadap undang-undang yang ketinggalan jaman”. Dengan demikian, hal ini berkontribusi menjadikan Indonesia lebih efisien, transparan, pusat arbitrase yang modern dan kompetitif secara global.[29]
[1] M.. S. Dillon, T. SEBUAH. Ekadhani, Secara singkat: Formalitas Arbitrase di Indonesia (30 Juni 2024), https://www.lexology.com/library/detail.aspx?g=d16685d3-1e64-4ac9-a586-ad2af888fd03 (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[2] K. Pabrik, M.. Mawar, Panduan Tempat Arbitrase (12 Januari 2024), hal. 3.
[3] Anggraeni and Partners, Pengenalan umum mengenai arbitrase internasional di Indonesia (8 Juli 2024), https://www.linkedin.com/pulse/general-introduction-international-arbitration-indonesia-vf8dc/ (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[4] E. Hertiawan dkk., Fajar Baru Arbitrase di Indonesia berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 dari 2023, https://www.ahp.id/a-new-dawn-for-arbitration-in-indonesia-under-supreme-court-regulation-no-3-of-2023/ (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[5] E. Hertiawan dkk., Fajar Baru Arbitrase di Indonesia berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 dari 2023, https://www.ahp.id/a-new-dawn-for-arbitration-in-indonesia-under-supreme-court-regulation-no-3-of-2023/ (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[6] E. Hertiawan dkk., Fajar Baru Arbitrase di Indonesia berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 dari 2023, https://www.ahp.id/a-new-dawn-for-arbitration-in-indonesia-under-supreme-court-regulation-no-3-of-2023/ (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[7] N. SEBUAH. Putra Mooduto, Hukum dan Peraturan Arbitrase Internasional 2024, https://www.globallegalinsights.com/practice-areas/international-arbitration-laws-and-regulations/indonesia/ (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[8] K. Pabrik, M.. Mawar, Panduan Tempat Arbitrase (12 Januari 2024), hal. 6.
[9] Anggraeni and Partners, Pengenalan umum mengenai arbitrase internasional di Indonesia (8 Juli 2024), https://www.linkedin.com/pulse/general-introduction-international-arbitration-indonesia-vf8dc/ (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[10] 1999 Hukum Arbitrase, Artikel 9(4).
[11] 1999 Hukum Arbitrase, Artikel 11.
[12] 1999 Hukum Arbitrase, Artikel 5.
[13] N. SEBUAH. Putra Mooduto, Hukum dan Peraturan Arbitrase Internasional 2024, https://www.globallegalinsights.com/practice-areas/international-arbitration-laws-and-regulations/indonesia/ (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[14] 1999 Hukum Arbitrase, Artikel 10(f).
[15] K. Pabrik, M.. Mawar, Panduan Tempat Arbitrase (12 Januari 2024), hal. 4.
[16] N. SEBUAH. Putra Mooduto, Hukum dan Peraturan Arbitrase Internasional 2024, https://www.globallegalinsights.com/practice-areas/international-arbitration-laws-and-regulations/indonesia/ (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[17] M.. S. Dillon, T. SEBUAH. Ekadhani, Secara singkat: Formalitas Arbitrase di Indonesia (30 Juni 2024), https://www.lexology.com/library/detail.aspx?g=d16685d3-1e64-4ac9-a586-ad2af888fd03 (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[18] 1999 Hukum Arbitrase, Artikel 14.
[19] 1999 Hukum Arbitrase, Artikel 15(1)-(2).
[20] 1999 Hukum Arbitrase, Artikel 15(4).
[21] 1999 Hukum Arbitrase, Artikel 22(1).
[22] 1999 Hukum Arbitrase, Artikel 22(2).
[23] M.. S. Dillon, T. SEBUAH. Ekadhani, Secara singkat: Formalitas Arbitrase di Indonesia (30 Juni 2024), https://www.lexology.com/library/detail.aspx?g=d16685d3-1e64-4ac9-a586-ad2af888fd03 (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[24] M.. S. Dillon, T. SEBUAH. Ekadhani, Secara singkat: Formalitas Arbitrase di Indonesia (30 Juni 2024), https://www.lexology.com/library/detail.aspx?g=d16685d3-1e64-4ac9-a586-ad2af888fd03 (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[25] SEBUAH. Kadir, B. Sihombing, Indonesia: Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3 dari 2023 – panduan lebih lanjut mengenai peran pengadilan dalam membantu arbitrase dan menegakkan putusan arbitrase (1 Mungkin 2024), https://Insightplus.bakermckenzie.com/bm/dispute-solving/indonesia-regulation-of-the-supreme-court-of-republic-of-indonesia-no-3-of-2023-further-guidance-on-the- peran-pengadilan-dalam-membantu-arbitrase-dan-menegakkan-putusan-arbitrase (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[26] C. Haider dkk., Memajukan arbitrase di Indonesia: Perubahan penting berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No 3 dari 2023 (SCR 3/2023) (22 Mungkin 2024), https://www.engage.hoganlovells.com/knowledgeservices/news/advancing-arbitration-in-indonesia-key-changes-under-supreme-court-regulation-no-3-of-2023-scr-32023 (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[27] E. Hertiawan dkk., Fajar Baru Arbitrase di Indonesia berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 dari 2023, https://www.ahp.id/a-new-dawn-for-arbitration-in-indonesia-under-supreme-court-regulation-no-3-of-2023/ (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[28] E. Hertiawan dkk., Fajar Baru Arbitrase di Indonesia berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 dari 2023, https://www.ahp.id/a-new-dawn-for-arbitration-in-indonesia-under-supreme-court-regulation-no-3-of-2023/ (terakhir diakses 10 Juli 2024).
[29] E. Hertiawan dkk., Fajar Baru Arbitrase di Indonesia berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 dari 2023, https://www.ahp.id/a-new-dawn-for-arbitration-in-indonesia-under-supreme-court-regulation-no-3-of-2023/ (terakhir diakses 10 Juli 2024).